Soekarnosedang bersendau gurau dengan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) beserta sejumlah habaib lainnya. Foto: Republika. Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab. Tiap kali ada konfrontasi di Timur Tengah, isu Arab langsung mencuat. Ada yang seperti menunggu momen itu untuk menggebah kegemaran

- Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus 1945, selain terjadi karena desakan golongan muda juga terjadi atas pertimbangan Ulama. Habib Ali Kwitang merupakan sosok yang menentukan tanggal dan waktu proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi atau akrab disapa Habib Ali Kwitang merupakan salah satu ulama berpengaruh dan disegani dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Petuah beliau menjadi pedoman sekaligus motivasi keberanian para pendiri bangsa untuk mengambil keputusan-keputusan besar penuh penuturan Ketua Umum Rabithah Alawiyah Habib Zein bin Umar Sumaith, Presiden Soekarno sebelum memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, terlebih dulu menemui Habib Ali Kwitang untuk meminta pendapat mengenai tanggal dan waktu yang tepat untuk membacakan Habib Ali Kwitang menentukan agar proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945 dan bertepatan dengan 9 Ramadhan. Habib Ali Kwitang lahir pada 20 April 1869 di Kampung Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Habib Ali lahir dari pasangan Habib Abdurrahman dan Nyai Salmah, seorang putri kelahiran Meester Cornelis atau kawasan Jatinegara. Ayahnya, Habib Abdurrahman merupakan sahabat Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih, seorang wali kutub yang dimakamkan di pemakaman Boyo Putih, Surabaya. Selain itu, Habib Abdurrahman juga merupakan sahabat sekaligus ipar dari Raden Saleh 1816-1880 M.Ia juga pendiri dan pemimpin pertama Majelis Taklim Kwitang yang menjadi cikal-bakal pendirian organisasi keagamaan di Tanah Betawi dan ke Yaman hingga HaramainMengutip tulisan Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an, Ustadz Miftah el-Banjary, Habib Ali Kwitang berangkat ke Hadramaut untuk belajar agama pada usia 12 tahun. Saat di Hadramaut, Habib Ali tidak menyia-nyiakan waktu untuk menuntut menempuh berbagai tradisi keilmuan untuk memperdalam khazanah keislaman seperti seperti fikih, tafsir, sejarah, dan banyak lagi. Di samping itu, Habib Ali juga bekerja sebagai buruh penggembala kambing untuk memenuhi kebutuhan berguru kepada seorang alim besar di Kota Bogor, Habib Hasan bin Ahmad Alaydrus. Selain itu, Habib Ali juga belajar kepada cendekiawan yang buta, yaitu Habib Ahmad bin Hasan Alatas di Kota guru-guru lainnya yang mendidik Habib Ali selama di Hadramaut. Setelah belajar di Hadramaut, Habib Ali Kwitang kemudian melanjutkan pencarian ilmunya ke Tanah Suci Makkah dan dua kota ini, dia belajar agama kepada Mufti Makkah Imam Habib Husein bin Muhammad Alhabsyi, dan sejumlah ulama besar. Sebagai pencari ilmu, Habib Ali Kwitang tergolong murid yang memiliki kemampuan hafalan yang sangat tinggi. Setelah delapan tahun menuntut ilmu di Hadramaut dan Makkah, Habib Ali pun kembali ke Tanah Air untuk memulai tugas keulamaan, tepatnya pada 1889 Ali Al-Habsyi juga berkesempatan ke Al-Haramain dan meneguk ilmu dari ulama di sana. Di antara gurunya di sana adalah Habib Muhammad bin Husain Al-Habsyi Mufti Makkah, Sayyid Abu Bakar Al-Bakri Syatha ad-Dimyati pengarang I'aanathuth Thoolibiin yang masyhur, Syeikh Muhammad Said Babsail hingga Syeikh 'Umar kembali ke Tanah Air, Habib Ali Kwitang terus melanjutkan rihlah keilmuan ke ulama-ulama ternama. Beliau pernah berguru kepada Habib Husein bin Muchsin Alatas dan Habib Usman bin Yahya, seorang Mufti yang berada di Jakarta. Habib Ali Kwitang juga menimba ilmu kepada sejumlah habib terkenal yang ada di Bogor, Pekalongan, Surabaya, Bangil, dan Bondowoso.jqf

HabibIdrus bin Salim al Jufri asal Palu ikut merancang bendera merah putih dan membuat syair dalam bahasa Arab tentang kemerdekaan Indonesia. Selain itu juga Habib Ali al Habsyi kwitang yang menyarankan Presiden soekarno untuk menentukan hari kemerdekaan. Demikian juga dengan isi Pancasila. Kelima silanya terdapat dalam ajaran Islam.
JAKARTA - Sebagai pewaris para nabi, ulama memiliki tugas untuk menyiarkan agama Islam. Ke hidupannya dibaktikan untuk menyampaikan pesan takwa kepada masyarakat. Sehingga, mereka memahami kebaikan dan keburukan. Dakwahnya menginspirasi masyarakat sekitar, menanamkan akhlak, ilmu, dan iman. Karena itu, para ulama telah banyak berperan dalam menyebarkan syiar Islam di belahan nusantara, termasuk di kalangan masyarakat Betawi di Ibu Kota Jakarta. Salah satu ulama yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Betawi adalah Habib Ali Alhabsyi 1870-1968 di Kwitang. Selama hidupnya, Habib Ali kerap berdakwah di tengah ribuan orang yang haus akan spiritual. Beliau adalah pendiri dan pimpinan pertama Majelis Taklim Habib Ali Alhabsyi. Dalam buku Sumur yang tak Pernah Kering dijelaskan, sang alim telah banyak memberikan sumbangan pemikiran bagi kemajuan umat, bangsa, dan negara. Dia tampil sebagai cendekiawan yang tidak hanya dikenal di Indonesia, tapi juga di mancanegara. Kelahiran Nama lengkapnya adalah Ali bin Abdur rahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein Alhabsyi. Ulama keturunan Nabi Muhammad ini lahir pada 20 April 1869 M di Kampung Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Habib Ali lahir dari pasangan Habib Abdurrahman dan Nyai Salmah, seorang putri kelahiran Meester Cornelis atau kawasan Jatinegara. Ayahnya, Habib Abdurrahman merupakan sahabat Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih, seorang wali kutub yang dimakamkan di perkuburan Boyo Putih, Surabaya. Selain itu, Habib Abdurrahman juga merupakan sahabat sekaligus ipar dari Raden Saleh 1816-1880 M. Setelah bertahun-tahun menikah, Habib Abdurrahman dan Nyai Salmah belum juga diberi keturunan. Pada suatu waktu, Nyai Salmah kemudian bermimpi menggali sumur yang airnya melimpah ruah hingga membanjiri sekelilingnya. Lalu, diceritakanlah mimpi itu kepada sang suami. Setelah mendengar mimpi istrinya itu, Habib Abdurrahman langsung menceritakannya kepada Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih. Kemudian, Habib Syekh menjelaskan, mimpi tersebut sebagai tanda akan la hirnya seorang putra yang saleh dan ilmunya akan melimpah ruah berikut keberkahannya. Tak lama kemudian, mimpi tersebut men jadi kenyataan. Nyai Salmah mengandung dan lahirlah seorang putra yang kelak akan menjadi tokoh berpengaruh, yaitu Habib Ali bin Adurrahman Alhabsyi. Habib Ali memiliki adik kandung bernama Habib Abdul Qadir Alhabsyi. Pada 1881, Habib Abdurrahman dipanggil oleh Allah. Saat itu Habib Ali baru menginjak usia 12 tahun. Sebelum wafat, Habib Abdurrahman sempat berwasiat kepada Nyai Salmah agar Habib Ali disekolahkan ke Hadramaut dan Makkah. Untuk mengirim putranya ke luar negeri, tentu membutuhkan biaya yang cukup be sar. Namun, Nyai Salmah tetap menunaikan wasiat dari suaminya tersebut. Untuk memberangkatkan Habib Ali ke Hadramaut, Nyai Salmah sampai menjual gelang perhiasan satu-satunya. Masa belajar Di usianya yang masih 12 tahun, Habib Ali pun berangkat ke Hadramaut atau Yaman Selatan. Kota pertama yang dikunjunginya adalah Sewun untuk berguru kepada Habib Abdurrahman bin Alwi al- Alaydrus. Saat di Hadramaut, Habib Alhabsyi tidak menyia-nyiakan waktu mudanya untuk menuntut ilmu. Berbagai tradisi keilmuan dilahapnya, seperti fikih, tafsir, sejarah, dan banyak lagi. Di samping itu, Habib Ali juga bekerja sebagai buruh penggembala kambing untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Dia berguru kepada seorang alim besar di Kota Boor, Habib Hasan bin Ahmad Alaydrus. Selain itu, Habib Ali juga belajar kepada cendekiawan yang buta, yaitu Habib Ahmad bi Hasan Alatas di Kota Huraidhoh. Banyak guru-guru lainnya yang mendidik Habib Ali selama di Hadramaut. Setelah belajar di Hadramaut, Habib Ali Kwitang kemudian melanjutkan pencarian ilmunya ke Tanah Suci Makkah dan Madinah. Di dua kota ini, dia belajar agama ke pada Mufti Makkah Imam Habib Husein bin Muhammad Alhabsyi, dan sejumlah ulama besar. Sebagai pencari ilmu, Habib Ali Kwitang tergolong murid yang cerdas. Dia memiliki kemampuan menghafal yang sa ngat tinggi. Setelah delapan tahun menun tut ilmu di Hadramaut dan Makkah, Habib Ali pun kembali ke Tanah Air untuk memulai tugas keulamaan, tepatnya pada 1889 M. Setiba di Tanah Air, Habib Ali Kwitang kembali menuntut ilmu kepada sejumlah ulama sehingga ilmu agama yang didapatkan dari luar dapat disesuaikan dengan kekhasan Islam yang ada di nusantara. Guru-gurunya di nusantara antara lain Habib Husein bin Muchsin Alatas dan Habib Usman bin Yahya, seorang Mufti yang berada di Jakarta. Habib Ali Kwitang juga menimba ilmu kepada sejumlah habib terkenal yang ada di Bogor, Pekalongan, Surabaya, Bangil, dan Bondowoso. BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini
Sebagaimanadiketahui, NU saat itu merupakan partai politik, Partai Nahdlatul Ulama, yang ikut berkoalisi dengan pemerintah di Era Presiden Soekarno. Selesai musyawarah, semua hadirin tampak masih berada di tempat duduk masing-masing. Habib Ali Kwitang curiga dengan motif di balik nampan. Beliau meminta Abdullah untuk mengangkat nampan – Habib Ali Kwitang Al-Habsy merupakan tokoh penting dalam jejaring habaib pada akhir abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20. Hampir seluruh jejaring habaib di Nusantara dan Haramain terkoneksi dengannya, bahkan ia juga menghubungkan generasi sebelumnya dengan generasi setelahnya, juga antara ulama pribumi dan ulama pada tanggal 20 Jumadil Awal 1286 H/ 20 April 1870 M dan wafat Ahad 20 Rajab 1388 H/ 13 Oktober 1968 M dan dimakamkan di Komplek Masjid Kwitang. Ayahnya, Habib Abdurrahman wafat pada tahun 1881 M dan dimakamkan di Cikini, belakang Taman Ismail Habib Abdullah bin Muhammad bin Husain al-Habsyi, dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat. Beliau datang dari Hadramaut, bermukim di Pontianak dan mendirikan Kesultanan Hasyimiyah dengan para Sultan dari Klan Algadri. Habib Ali Kwitang nyantri ke Hadramaut Yaman di rubath Habib Abdurrahman bin Alwi al- tahun 1303 H/ 1886 M kembali ke tanah air, beliau juga berguru kepada para alim ulama yang ada di Indonesia saat itu, diantaranya Habib Muhammad bin Thohir al-Haddad Tegal, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsy Surabaya, Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas Bogor dan beliau nyantri lagi ke Makkah dan mendapatkan ijazah dari ulama di Makkah, diantaranya Imam Muhammad bin Husain al-Habsyi Mufti Makkah, Syekh Muhammad Said Babsail Pengarang Kitab I’anatuth Tholibin dan di kota Madinah beliau nyantri kepada Habib Ali bin Ali al-Habsyi, Habib Abdullah Jamalullail Syekh Al-Asaadah, Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Zabi anak dari pengarang kitab Maulid ke tanah air, Habib Ali Kwitang membuka pengajian tetap di Majelis Taklim Kwitang dan di tempat lainnya di seluruh Indonesia, hingga ke desa-desa yang terpencil di lereng-lereng gunung serta ke Singapura, Malaysia, India, Pakistan, Srilanka dan tahun 1940-an, beliau mendirikan Masjid ar-Riyadh di Kwitang dan di samping masjid tersebut didirikannya sebuah madrasah yang diberi nama Madrasah Unwanul Falah. Sejak tahun 1919 M, beliau mendapat mandat untuk mensyiarkan Maulid Simthud Duror dari gurunya, Habib Muhammad bin Idrus ulama Betawi atau Jakarta yang pernah menjadi muridnya atau pernah belajar di madrasah yang didirikannya, diantaranya KH. Abdullah Syafi’I pendiri Pesantren Assyafi’iyah, KH. Thahir Rohili pendiri Pesantren Atthohiriyah, KH. Muhammad Na’im Cipete, KH. Muhajirin Cililitan dan KemerdekaanPada era pergerakan nasional, seperti guru Sayyid Usman Yahya, Habib Ali Kwitang juga seorang tokoh politik dan pejuang kemerdekaan, yaitu aktif di Partai Syarikat Islam pimpinan HOS Cokroaminoto dan Haji Agus di zaman pendudukan Jepang ia pernah dipenjara bersama Haji Agus Salim. Pada saat pemilu 1955, Habib Ali Kwitang kendati tidak memperlihatkan berpihak pada salah satu partai dan tidak pernah mengemukakan pilihannya pada orang lain tetapi ia lebih dekat dengan Nahdlatul Ulama NU.Ketika NU mengadakan Muktamar di Gedung Olahraga Lapangan Ikada Monas Jakarta, Habib Ali diminta membaca doa. Beliau juga banyak memiliki murid-murid orang NU, termasuk Ketua Umumnya saat itu KH. Idham Chalid yang kerap kali datang ke Ali Kwitang juga sempat menulis beberapa kitab, diantaranya Al-Azhar al-Wardhiyyah fi as-Shuurah an-Nabawiyyah dan Ad-Durar fi ash-Shalawat ala Khair Ali Kwitang tidak sendiri dalam gerakan anti kolonial, ia senantiasa ditemani Habib Ali Bungur dan Habib Salim Jindan. Habib Ali Bungur selalu mengobarkan semangat Jihad melawan penjajah dan selalu mengorbankan semangat anti penjajah dengan membawakan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menganjurkan melawan penjajah. Katanya, “Penjajah adalah penindas, kafir dan wajib diperangi”.Pada masa pemberontakan PKI ia selalu mengatakan bahwa “PKI dan Komunis akan lenyap dari bumi Indonesia dan rakyat akan selalu melawan kekuatan atheis. Ini berkah perjuangan para ulama dan auliya yang jasadnya bertebaran di seluruh nusantara”.Ia mendukung terbentuknya Negara Indonesia yang Bersatu, utuh serta berdaulat, tidak segan-segan menegur para pejabat yang mendatanginya dan selalu menyampaikan agar jurang antara pemimpin da rakyat dihilangkan dan rakyat mesti dicintai”.Sumber Masterpiece Islam Nusantara, sanad dan jejaring ulama-santri 1830-1945 – Zainul Milal Bizawie 5f4O.
  • dml37w6xlq.pages.dev/557
  • dml37w6xlq.pages.dev/479
  • dml37w6xlq.pages.dev/409
  • dml37w6xlq.pages.dev/458
  • dml37w6xlq.pages.dev/408
  • dml37w6xlq.pages.dev/100
  • dml37w6xlq.pages.dev/500
  • dml37w6xlq.pages.dev/132
  • habib ali kwitang dan soekarno